bagian 1 Luka Elisa
bagian 2 Self Harm
bagian 3 Friendzone
bagian 4 Dua Sisi Koin
bagian 5 Teman Baru
bagian 6 Permulaan
bagian 7 Diluar Dugaan
LUKA
Kamar rumah sakit itu begitu sepi. Tidak ada yang sudi bicara untuk sekedar memecah suasana. Semua orang sibuk dengan gejolak hatinya masing-masing, melebur segala perasaan yang sedang dirasakan.
Di tempat tidur putih bersih itu, tergolek lemah seorang gadis yang baru saja melewati masa kritis. Hidupnya nyaris berakhir karena kehabisan darah. Untunglah rumah sakit masih memiliki stok darah O untuk transfusi. Gadis itu sudah sadar, sudah membuka matanya. Tapi ia tak ingin bicara, memilih diam dan memikirkan entah apa. Ia biarkan tangan kanannya digenggam erat oleh sang mama, dan kaki kirinya dipijat lembut oleh laki-laki bermata lembut itu. Tezar.
Tahu bahwa Elisa masih tidak ingin bicara, mama dan Tezar memilih ikut diam setelah beberapa kali mencoba mengajak Elisa bicara. Mereka memilih berkelana dengan pikiran masing-masing, seperti Elisa. Lupa bahwa ada dua orang perempuan yang duduk di pojok ruang, termangu tanpa kata; Alya dan si mbak.
Alya tidak mempercayai apa yang ia lakukan hari ini. Ia menolong dan ikut kesana-kemari demi mengurusi gadis yang ia inginkan mati dan menjauhi Tezar. Ia tak bisa membantah Tezar saat laki-laki itu menyuruhnya memanggil ambulans, bolak-balik urus administrasi Rumah Sakit dan sebagainya. Ia heran, karena ia harusnya sedang menikmati proses kematian Elisa saat melihatnya bermandi air darah dirumahnya. Lalu Alya tidak tahan lagi, melihat Tezar begitu membuang waktu menunggui orang yang bahkan tak mau bicara sama sekali. Alya sakit hati, sakit sekali sampai dadanya terasa nyeri. Ada cemburu yang menggunung dan siap meledak kapan saja. Hingga akhirnya ia memilih pergi, meninggalkan rumah sakit diam-diam. Oh, tentu saja tak ada yang peduli.
Alya berjalan cepat melewati lorong rumah sakit. Kakinya membawanya menuju halaman belakang rumah sakit. Tempat itu sepi, hanya ada ruang jenazah yang sedang kosong dan gudang milik rumah sakit. Alya duduk di bawah pohon mangga yang sudah tua. Ia menangis tersedu, pedih sekali.
"Aduh!"
***
"Tante, sudah sore. Lebih baik Tante pulang dulu. Biar Elisa saya yang jaga." Tezar membuka suara memecah diam.
"Tidak Nak, tante mau tungguin Elisa," kata mama.
"Tante harus pulang biar kita semua bisa jaga Elisa. Besok pagi tante jaga Elisa dan gantian saya pulang. Biar Elisa tetap ada yang jaga, dan kita tidak ikut sakit." Tezar mencoba meyakinkan mama. Akhirnya mama menurut. Ia pulang bersama si mbak setelah mengecup kening Elisa berkali-kali.
Sepeninggal mama, Elisa masih diam. Ia sebenarnya haus tapi malas bicara untuk meminta Tezar mengambilkan air. Matanya menatap air minum di meja yang berada persis di sebelah kanan kepalanya. Tezar mengetahuinya dan mengambil air itu.
"Lo mau minum?" Tanya Tezar sambil memamerkan senyumnya yang ia buat paling manis. Elisa mengangguk, tetap tak mau bicara.
"Lo harus bicara dulu," kata Tezar sambil memasang muka usil. Elisa cemberut dan menggeleng.
"Ya sudah, gue minum sendiri aja." Tezar lalu menenggak habis minuman yang ada di gelas. Elisa melotot tak percaya Tezar benar-benar tak memberinya minum. Tezar terkekeh melihat raut Elisa.
"Tenang aja, gue masih punya satu. Tapi gue kasih kalau lo ngomong sama gue." Tezar mengambil sebotol air mineral di laci meja dan mengacungkannya pada Elisa. Elisa mendengus sebal.
"Baiklah, gue mau minum Zar." Akhirnya Elisa mau angkat bicara. Tezar senang bukan kepalang melihat Elisa mau bicara lagi. Ia lalu mengambil sedotan panjang agar Elisa bisa minum sambil tetap berbaring.
"Lo tahu El, gue khawatir. Lo jangan sakitin diri lagi, please. Gue ikut ngerasa sakit." Tezar menatap lekat-lekat Elisa setelah selesai minum. Elisa diam, lalu mengangguk sembari tersenyum lemah.
"Maafin gue Zar."
****
Alya mengaduh dan reflek mengangkat tangannya. Telunjuknya berdarah. Ia tertusuk pecahan kaca saat tangannya random memainkan rumput sambil menangis. Alya meringis kesakitan, lalu mengulum jarinya sendiri. Alya menggigit telunjuknya yang luka dan merasakan perih. Saat ia melepaskan telunjuknya dari mulutnya, ia melihat robekan di kulitnya agak dalam dan bekas gigi karena tadi ia gigit jarinya. Lalu tiba-tiba muncul pikiran aneh dalam kepala Alya.
"Eh, kenapa hatiku rasanya baikan ya? Apa karena luka ini?"
Lalu ia mengambil pecahan kaca yang tadi melukainya.
SRET
Ia menggoreskan kaca itu dipunggung tangannya. Ia mengaduh kecil, tapi mulai menikmati sakit sayatan itu.
"Eh, sakit ini unik sekali. Semacam mampu membuatku lebih tenang."
Alya tersenyum, menikmati rasa sakit dan memandang tak jemu darah yang menetes dari punggung tangannya.
***
Bersambung ke bagian 9 Terhempas dari cinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar