Minggu, 23 Oktober 2016

Rumah Sepetak dan Rasa Syukur

"Bentar lagi, coba kamu noleh ke sebelah kanan," kata suami suatu hari saat kami hendak pergi naik motor. Kami melewati rumah-rumah tetangga yang belum semuanya kami kenal karena kami warga baru.
"Udah lihat?"
"Apa?" Saya bingung karena merasa tidak melihat sesuatu yang spesial.
"Lihat bangunan kotak kecil tadi?" tanyanya. Saya mengiyakan, melihat bangunan kecil dr kayu diantara dua rumah besar.
"Itu rumah pak Tikno," katanya.
Saya tertegun, kehabisan kata-kata. Rumah itu kecil sekali, bahkan sepertinya lebih kecil dari kamar tidur saya. Kamar tidur saya berukuran lima kali tiga meter. Terbayang kan seberapa ukuran rumah bapak itu?
Pak Tikno kerja serabutan. Apa ajalah yang tetangga minta kerjakan. Istrinya membantu mengasuh anak-anak balita dari guru-guru sekolah IT di dekat sini. Mereka punya dua anak, yang anak pertama sedang kuliah keperawatan di Jawa. Sedang anak yang kedua ikut bersama mereka, usianya sekitar lima tahun. Rumah pak Tikno berdiri di atas tanah pinjaman tetangga, dan dengan listrik yang juga nyalur dari tetangga. Dinding rumahnya terbuat dari kayu-kayu triplek bekas diselingi beberapa seng yang harusnya buat atap. Atapnyapun tidak beraturan, tambal-tambal asal bisa buat berteduh.
"Bagaimana jika hujan datang? Atau ada kaki seribu masuk rumah mereka?" Tanya suami pada saya. Lalu saya kelu, teringat saya ngomel dengan tukang yang membuat rumah (ngomel sendiri sih, nggak tau juga siapa tukangnya) karena beberapa atap bocor kalau hujan, juga keran air yang suka bocor airnya. Saya juga suka kesel karena sering sekali kaki seribu masuk rumah. Ya maklum lah, belakang rumah saya kebun. Cicak juga seriiing sekali pup sembarangan. Huhuhu sedih sekali rasanya. Apalagi sebelum pindah ke Kalimantan Timur ini, saya tinggal di sebuah rumah di Jogja dengan lingkungan perumahan yang suasananya jauh sekali dengan rumah saya sekarang. Mau sayur pagi-pagi tinggal nunggu depan rumah, mau beli ayam juga tinggal nunggu tukang ayam lewat. Mau bakso, mau sate, siomay, dan semacamnya banyak yang lewat. Keluar rumah dikit sudah ada banyak warung, Indom***t, apotek, dan sebagainya. Disini? Aduh akses jauh. Bahkan rumah sakit cuma ada satu dan jarak tempuhnya lumayan jauh. Sedangkan UGD 24 jam cuma bisa di rumah sakit. Aduh rasanya....
Tapi Alloh akhirnya menyadarkan saya, melalui tetangga (agak jauh) kami bernama pak Tikno. Saya langsung sedih, sedih karena selama ini jauh sekali dari rasa syukur.
Ya begitulah kadang manusia, jauh sekali dari rasa syukur. Nikmat yang Alloh berikan berlimpah ruah justru tidak terlihat, karena yang terlihat adalah nikmat yang dimiliki orang lain. Makin jauh rasa syukur, makin tidak tenang hidup kita jalani.
Apakah orang-orang seperti pak Tikno tidak menikmati hidup? Belum tentu! Bisa jadi mereka jauh lebih menikmati hidup daripada kita yang terlalu gelisah memikirkan urusan dunia. Apa yang Alloh beri benar-benar disyukuri, dan ujian dari Alloh selau dijalani dengan sabar dan ikhlas.
Kabar gembiranya, pak Tikno adalah orang yang rajin sholat di Masjid kampung. Beliau adalah muadzin Masjid. Kabar terakhir yang saya dengar, pengelola masjid akan membangunkan rumah takmir di sebelah masjid untuk bisa dihuni pak Tikno dan keluarganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar